Cerita Anak Pesantren; Kita yang Menutup Jalan
Di suatu hari, seorang anak sedang memperhatikan pegawai bengkel. Ia diajak ayahnya menyervis sepeda motornya . Setelah sepedanya selesai di servis, sang ayah pun mencoba dan ternyata sepeda motor tua yang dibawanya kini lebih mudah untuk dinyalakan. Wal hasil, tergambar lah raut yang bahagia pada wajah sang ayah.
Waktu berlalu, hingga suatu ketika, ibu mengajak anaknya untuk ikut berbelanja di pasar. Dalam perjalanan pulang sang anak melihat mainan sepeda motor. Mirip dengan apa yang ayahnya punya. Maka ketika itu juga, sang anak merengek dan meminta untuk dibelikan. Ibunya yang tadinya enggan, akhirnyapun terpaksa harus menurutinya karena terlanjur malu diihat orang banyak Ketika sampai dirumah, ibu langsung menuju kedapur untuk menyiapkan makan siang dan meninggalkan anaknya bersama mainan barunya. Namun alangkah terkejutnya sang ibu, setelah tau jika mainan sepeda motor yang baru saja dibelinya tadi, sudah hancur berkeping keping. “padahal baru saja ibu tinggal masak!” bentak ibunya dengan nada marah. Suatu hal yang berbalik dari apa yang diharapkan sang anak
Si ibu pun akhirnya menceritakannya pada suaminya, kakeknya, hingga ke tetangga tetangganya. Maka ketika liburan tiba, sang kakek menggodanya dengan berkata “Oop..., ini cucu kakek yang nakal itu ”. terus berulang kali seperti itu. Sehingga pada akhirnya sang anakpun menganggap bahwa dirinya memang benar benar nakal.
Kisah tersebut hanyalah sedikit contoh dari sisi gelap pendidikan kita. Kita sering kali cenderung curang mendiktekan kepribadian orang lain. Kita terlalu cepat berburuk sangka ketimbang memikirkan hal hal yang positif. Kita lebih suka banyak berkata tanpa banyak mengulang-ngulang analisa kita.
Hal inilah yang seharusnya dibenahi pada sistim pendidikan kita. Cenderung menjadikan bintang kelas menjadi raja, dan menjadikan yang lainnya sebagai pecundang. Kita terlalu sering mengomentari keburukan keburukan anak didik kita dibandingkan dengan mengajarkan kepada mereka cara memanfaatkan kelebihan kelebihannya dijalan yang benar.
Maka bak menulis diatas air,dengan terus menerus mendikte keburukan pada anak anak kita, kita sendirilah yang pada akhirnya menghilangkan potensi kebaikan dan kemanfaatan generasi pennerus kita.
Seharusnya kita mulah berbenah. Seharusnya kita mulai mengintropeksi diri. Pantaskah kita terus menerus menyalahkan remaja atas kenakalan yang mereka lakuakan. Sedangkan kita tidak pernah memberi mereka jalan untuk melakukan kebaikan. Mungkin mereka yang melawan?, atau kita yang sengaja menutup jalan? “Tsal dhaamiirah!”. Tanya pada hati kita.
Demikianlah tulisan mengenai Cerita Hikmah Anak Pesantren; Kita yang Menutup Jalan. Semoga dengan adanya tulisan ini bisa memberikan wawasan dan juga memberikan hikmah yang mendalam bagi segenap pembaca yang sedang memerlukan "Cerita Pesantren". Adapun penulis dalam cerita ini sendiri adalah Mujahid Mutaqobbala. Trimakasih,
Posting Komentar untuk "Cerita Anak Pesantren; Kita yang Menutup Jalan"